Al-Quran adalah Eksistensi Hakiki

Setiap kali aku menemui persoalan filsafat yang tidak terpecahkan, aku shalat dua rakaat dan membaca Al-Quran, dan seringkali aku mendapatkan jawaban atas persoalan tersebut.

RISALAH

KH Dr Kholid Al Walid MAg (Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

7/27/20252 min read

Bismillāh al-Raẖmān al-Raẖīm.

Allāhumma shalli ‘ala Muẖammad wa Ali Muẖammad.

Al-Qur’an adalah hakikat eksistensi yang hadir melalui Tajalli Ilahi, yang melintasi setiap tingkatan eksistensial: dari Hahut, Lahut, Jabarut, Malakut hingga Nasut. Ia menembus setiap lapisan alam, dari yang paling ruhani hingga yang paling material. Hakikatnya terhubung tanpa terputus. Oleh karena itu, kata yang digunakan oleh Al-Qur’an adalah Nazzala, bukan Tajaffa, yang menunjukkan bahwa Al-Qur’an terulur dari atas ke bawah dan juga naik dari bawah ke atas. Dalam dimensi Ilahiah, Al-Qur’an turun, namun dari sisi insaniyah, ia naik.

Setiap orang yang membaca ayat-ayat Al-Qur’an akan merasakan ruhaninya terus melesat dan naik menuju Ilahi. Ibn Sina berkata, “Setiap kali aku menemui persoalan filsafat yang tak terpecahkan, aku shalat dua rakaat dan membaca Al-Qur’an, dan seringkali aku mendapatkan jawaban atas persoalan tersebut.”

Allamah Muhammad Iqbal Lahore juga menceritakan, “Setiap kali aku membaca Al-Qur’an, aku merasakan seakan-akan Al-Qur’an sedang berbicara kepadaku.”

Al-Qur’an bukanlah buku biasa, bukan pula perkataan pribadi Nabi Muhammad SAW. Beberapa pemikir Islam yang tidak mempelajari filsafat terkadang mengalami kesulitan dalam menjelaskan kata-kata yang tertera dalam kitab suci ini. Bahkan terjebak pada pandangan bahwa ayat-ayat yang tertera dalam Al-Qur’an sebagai kata-kata yang dipilih oleh Nabi saw dalam memahami wahyu yang hanya berupa makna simbolik. Pemahaman ini terjadi karena mereka tidak memahami ketunggalan realitas.

Bagi Mulla Sadra bahwa realitas ini adalah tunggal, meskipun gradatif, berdasarkan intensitas yang ada pada realitas tersebut, baik yang prior maupun posterior. Alam material hanya tampilan dari realitas ruhani dalam pola yang kasar dan terbatas. Sementara yang ruhani adalah hakikat material yang halus dan tidak terbatas. Keduanya adalah satu, meskipun berada dalam dimensi yang berbeda, dan demikian pula Al-Qur’an.

Secara ontologis bahwa Al-Qur’an adalah eksistensi hakiki dan bukan relatif. Secara epistemologis bahwa Al-Qur’an membuka kesadaran manusia untuk melihat realitas hakiki dan mutlak, serta memisahkannya dari hal-hal yang i’tibari (relatif). Dengan demikian, manusia dapat mengaktualisasikan kesadaran akan segala hal yang relatif menuju kesadaran yang hakiki dan mutlak: min al-mahiyyah ila al-wujȗd wa min al-wujȗd al-faqr ila al-wājib al-wujȗd; from physics to metaphisyc, from necessity to absolute existence.

Secara aksiologis bahwa Al-Qur’an membimbing manusia menuju kesempurnaan, menjadi al-Insan al-Ilahi. Dari manusia biologis, berkembang menjadi manusia intelek, lalu menjadi manusia malakuti, dan puncaknya menjadi manusia Ilahi.

Al-Qur’an membimbing manusia dalam perjalanan kemanusiaan, dari tingkat yang paling rendah hingga yang paling tinggi. Oleh karena itu, Al-Qur’an menjelaskan dirinya sebagai hudan li al-nās (petunjuk bagi umat manusia) dan menggambarkan karakter-karakter manusia: yang muttaqīn dan kafir, yang berilmu dan yang bodoh. Dengan begitu, manusia dapat mengaktualisasikan potensinya.

Membaca Al-Qur’an pada hakikatnya adalah membaca seluruh realitas semesta, lahir dan batin. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as berkata, “Telah mengajarkan kepadaku kekasihku, Rasulullah saw, Al-Qur’an. Pada Al-Qur’an terdapat lahir dan batin, dan dari setiap lahir dan batin terdapat seribu pintu ilmu. Dari setiap pintu terbuka seribu pintu lainnya.” ***

Sumber buku: Filsafat Al-Quran, Gerbang Hikmah Ilahi. Penerbit Marja Bandung. Tahun 2025.