Al-Quran Rahmat Ilahi

Hiasilah waktumu dengan Al-Quran karena melaluinya cahaya Rahmat-Nya akan meliputi setiap waktumu.

RISALAH

KH Dr Kholid Al Walid MAg (Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

7/30/20254 min read

Ramadhan, jamuan ruhaniah yang mulia, kembali tergelar—bulan yang tiada banding dalam kemuliaannya. Di antara pancaran kemuliaan bulan ini, turunlah wahyu Ilahi yang agung, yaitu Al-Qur’an. Menyerap cahaya Ilahi di bulan penuh berkah ini berarti berupaya mengakrabkan diri dengan Al-Qur’an. Dengan tujuan itulah, saya mengajak kita semua untuk melewati hari-hari di bulan suci ini dengan lebih mengenal dimensi-dimensi luar biasa dari Al-Qur’an. Mengenali Al-Qur’an melalui Al-Qur’an, karena yang terbaik dalam menjelaskan Al-Qur’an tidak lain adalah Al-Qur’an itu sendiri.

Allah Swt, Zat Yang Maha Rahman, memulai proses penciptaan makhluk-Nya dengan kasih sayang-Nya. Bahkan, sifat Rahman-Nya adalah sifat-Nya yang utama, yang Dia sandingkan dengan Ism al-Jami’-Nya, yaitu Allah.

قُلِ ادْعُوا اللّٰهَ اَوِ ادْعُوا الرَّحْمٰنَۗ اَيًّا مَّا تَدْعُوْا فَلَهُ الْاَسْمَاۤءُ الْحُسْنٰىۚ وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذٰلِكَ سَبِيْلًا

“Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Serulah ‘Allah’ atau serulah ‘Ar-Raẖmān’! Nama mana saja yang kamu seru, (maka itu baik) karena Dia mempunyai nama-nama yang terbaik (Asmaulhusna). Janganlah engkau mengeraskan (bacaan) salatmu dan janganlah (pula) merendahkannya. Usahakan jalan (tengah) di antara (kedua)-nya!” (QS Al-Isra’ [17]: 110).

Ayat ini menginformasikan kepada kita bahwa Allah memiliki banyak nama yang indah, yang dikenal dengan sebutan asmaulhusna (Nama-Nama yang Terbaik). Meskipun semuanya adalah nama yang mulia, “Ar-Raẖmān” dianggap sebagai salah satu yang paling unggul karena mencerminkan sifat-Nya yang paling mendalam dan mendasar dalam hubungan-Nya dengan ciptaan-Nya. Bahkan dalam hadis yang cukup masyhur disebutkan:

“Setelah Allah menciptakan makhluk-Nya, Dia menuliskan dalam kitab-Nya yang ada di sisi-Nya di atas ‘Arasy bahwa Kasih sayang-Ku lebih mendominasi amarah-Ku.” (HR. Muslim)

Dengan Nama-Nya yang Penyayang juga Dia liputi segala sesuatu yang ada ini:

وَرَحْمَتِيْ وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍۗ

“…Dan Rahmat-Ku meliputi segala sesuatu…” (QS. Al-A’raf [7]: 156)

وَاِذَا جَاۤءَكَ الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِاٰيٰتِنَا فَقُلْ سَلٰمٌ عَلَيْكُمْ كَتَبَ رَبُّكُمْ عَلٰى نَفْسِهِ الرَّحْمَةَۙ اَنَّهٗ مَنْ عَمِلَ مِنْكُمْ سُوْۤءًاۢ بِجَهَالَةٍ ثُمَّ تَابَ مِنْۢ بَعْدِهٖ وَاَصْلَحَ فَاَنَّهٗ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

“Apabila orang-orang yang beriman pada ayat-ayat Kami datang kepadamu, katakanlah, “Salāmun ‘alaikum (semoga keselamatan tercurah kepadamu).” Tuhanmu telah menetapkan sifat kasih sayang pada diri-Nya, (yaitu) siapa yang berbuat kejahatan di antara kamu karena kejahilan (kebodohan, kecerobohan, dorongan nafsu, amarah dan sebagainya), kemudian dia bertobat setelah itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-An’am [6]: 54)

Plato memberikan gambaran yang relevan dalam konteks kasih sayang Tuhan meliputi segala sesuatu, walaupun tentu, hal ini tidak ia langsung nyatakan namun kurang lebih memiliki arti yang menunjukan hal tersebut. Ia menggambarkan bahwa eros sebagai daya kosmik alam semesta selalu berusaha ingin bersatu dengan bagian dari dirinya yang lain; bagian realitas materi dengan realitas immateri. Ini artinya Tuhan sebagai sentral realitas cenderung menyatu dan meliputi diri-Nya sendiri dalam semua dimensi[1].

Tentu, hal ini tidak rasional jika Tuhan dianggap memiliki bagian-bagian yang kemudian mengarah pada pemahaman bahwa Tuhan tersusun. Penjelasan Plato ini akan lebih sempurna jika dipahami dari makna wujud yang satu, dalam pengertian basith (sederhana) menurut perspektif Mulla Sadra.[2] Hal ini menggambarkan bahwa wujud Tuhan yang meliputi segala sesuatu sebenarnya adalah kesederhanaan-Nya itu sendiri (berlawanan dengan konsep keter-susunan). Seperti cahaya dalam pandangan Suhrawardi, yang bergradasi namun tidak menunjukkan bagian-bagian, tetapi tetap meliputi seluruh realitas, baik yang terang maupun yang gelap.[3] Keduanya adalah satu kesatuan yang berasal dari sumber Cahaya Tuhan.

Rahmat adalah kasih sayang yang tiada batas, yang memenuhi setiap kebutuhan tanpa diminta, menebarkan kebaikan tanpa mengharapkan balasan, dan memberi tanpa harus diawali dengan permintaan. Di antara rahmat Allah Swt yang paling luar biasa bagi umat manusia adalah Al-Qur’an. Dengan kasih sayang-Nya kepada hamba-hamba-Nya, Allah memberi mereka Al-Qur’an bahkan sebelum Dia menciptakan manusia:

ٱلرَّحْمَـٰنُ، عَلَّمَ ٱلْقُرْءَانَ، خَلَقَ ٱلْإِنسَـٰنَ، عَلَّمَهُ ٱلْبَيَانَ

“Al-Rahman, Yang telah mengajarkan Al-Qur’an, Dia menciptakan manusia, mengajarnya pandai berbicara” (QS Ar-Rahman [55]: 1-4)

Ayatullah Jawadi Amuli memberikan penafsiran yang menarik ketika membaca empat ayat dalam Surah Ar-Rahman di atas.

Setelah Allah Swt disebut sebagai al-Rahmān (Yang Maha Rahmat) pada ayat pertama, ayat kedua melanjutkan dengan menyebutkan bahwa Allah mengajarkan Al-Qur’an, menciptakan manusia (ayat ketiga), dan mengajarkan al-Bayān (ayat keempat). Secara alami, urutan yang seharusnya adalah: pertama, manusia diciptakan terlebih dahulu, kemudian diajarkan kemampuan berbicara, dan setelah itu barulah diajarkan Al-Qur’an. Namun, Al-Qur’an tidak menyajikan urutan tersebut. Al-Rahmān adalah ‘guru’ yang memiliki rahmat dan belas kasih yang sangat luas. “Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu” (QS. Al-A’raf [7]: 156).

Ketika dikatakan bahwa seorang insinyur sedang mengajar, itu berarti ia sedang mengajarkan ilmu teknik. Jika dikatakan bahwa seorang dokter sedang mengajar, tentu yang diajarkannya adalah ilmu kedokteran. Begitu pula, jika dikatakan bahwa seorang sastrawan sedang mengajar, itu berarti ia sedang mengajarkan ilmu sastra. Namun, ketika Allah Yang Maha Pengasih disebut mengajar, itu berarti Dia mengajarkan rahmat dan belas kasih-Nya yang tak terbatas.[4]

Artinya, ayat “Al-Rahman, Yang telah mengajarkan Al-Qur’an” mengandung makna bahwa Al-Qur’an berisi ajaran-ajaran rahmat, cinta, dan kasih sayang yang tak terbatas, yang Allah ajarkan untuk umat manusia. Al-Qur’an memenuhi kebutuhan manusia yang paling mendasar dan menjadi cahaya bagi fitrah manusia, membimbing mereka untuk mewujudkan dan menyampaikan hakikat diri mereka sebagai makhluk yang sempurna, yang diciptakan oleh Allah Swt sebagai ciptaan-Nya yang paling mulia di antara seluruh makhluk. Al-Qur’an memenuhi kebutuhan lahir dan batin manusia. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Al-Ghazali, Al-Qur’an menjawab kebutuhan seluruh dimensi kehidupan manusia, baik spiritual, material, maupun moral, serta membantu mereka memahami tujuan hidup dan hubungan mereka dengan Tuhan.[5]

Dalam Ghurar al-Ḫikam Sayyidina Ali bin Abi Thalib berkata, “Hiasilah waktumu dengan Al-Qur’an karena melaluinya cahaya Rahmat-Nya akan meliputi setiap waktumu.”

Dari sini dapat dikatakan bahwa Al-Qur’an merupakan manifestasi rahmat Ilahi yang meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Sebagai wahyu yang diturunkan pada bulan Ramadhan, Al-Qur’an tidak hanya memenuhi kebutuhan zahir manusia, tetapi juga batin dan spiritual mereka. Dengan ajaran-ajaran penuh rahmat dan kasih sayang, Al-Qur’an membimbing umat manusia menuju hakikat diri mereka yang paling sempurna, serta memberikan petunjuk dalam menjalani kehidupan yang baik secara spiritual, material, dan moral. Rahmat Allah yang tak terbatas, yang tercermin dalam setiap ayat-Nya, menunjukkan bahwa Al-Qur’an adalah cahaya yang menyinari fitrah manusia, mengarahkan mereka untuk memahami tujuan hidup dan hubungan mereka dengan Tuhan. ***

Foot note

[1] R.E Allen, The Dialogues of Plato (London: Yale University Press, 1996), hal. 32.

[2] Muhammad Husain Thabataba’i, Bidāyah Al-Hikmah (Qum: Dar al-Fikr, 1387), hal. 28.

[3] Tianyi Zhang, “A Philosophical Enquiry into the Nature of Suhrawardi’s Illuminationist Philosophy” (University of Cambridge, 2018), hal. 40.

[4] Ayatullah Jawadi Amuli, Keindahan dan Keagungan Perempuan: Perspektif Studi Perempuan dalam Kajian Al-Qur’an, Filsafat, dan Irfan, Penj. Muhdhor Ahmad dkk, (Jakarta: Sadra Press, 2011), hal. 55-56

[5] Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Iẖyā' 'Ulȗmiddīn (Beirut: Dar al-Ma’rifah, n.d.), hal. 63.