Asyura 1435: Para Pahlawan Cinta
Saudara, sekarang kita berada di Kufah. Tangan orang tua itu, tangan Amirul Mukminin, saat ini memegang tangan seorang budak yang baru dibebaskannya. “Siapa namamu?, ” tanya Amirul Mukminin. “Salim, tuan!”
ASYURA
6/10/20257 min read


Bagian 1
Udara di ruangan ini mulai terasa hangat. Hangat karena kita sekarang bergabung dengan ribuan para pecinta Rasulullah saw; hangat karena kecintaan pada keluarga Nabi saw mulai berdetak dalam jantung kita, mengisi seluruh pembuluh darah kita; hangat karena di sini kita menjadi sungai-sungai kecil yang mengalirkan kerinduan kepada al-Mushthafa, bergabung dengan sungai-sungai besar sepanjang sejarah, terus-menerus mengalir tanpa henti, sampai ke samudra Mahabbah tanpa tepi.
Baru saja kita berdiri di hadapan Kekasih Ilahi, melantunkan salawat dan salam kepadanya. Harumkan kuburannya yang mulia, dengan wewangian semerbak salawat dan salam kami. Baru saja kita semua berbaiat kepada dia yang tangannya diangkat tangan suci Nabiyyur Rahmah saw. Baru saja kita bergabung di tengah-tengah padang pasir, di Ghadir Khum, di tanah Juhfah, bersama puluhan ribu sahabat Nabi saw. Baru saja kita saksikan peristiwa dahsyat, ketika dua tangan yang penuh kasih berpegangan, menggerakkan gelombang suara, “Man kuntu mawlaah, fa hadza ‘Aliyyun mawlaah.”
Sekarang kita mengikuti kafilah haji yang dipimpin oleh manusia-manusia suci. Mereka kita dapatkan sedang beristirahat di Zul-Halifah. Lihat, tiba-tiba dari kepulan debu padang pasir menyeruak seekor kuda, bergerak ke arah Sang Nabi, dan berhenti tidak jauh dari padanya. Penunggang kuda itu turun, masih dengan kepala yang didongakkan, masih dengan airmuka yang arogan.Dialah Jaabir bin al-Nadhr bin al-Harits. Imam Ali membunuh ayahnya pada perang Badar. Ia masuk Islam pada penaklukan Mekah.
Ia sudah berdiri di dekat sang Nabi. Kita mendengar ia berteriak keras:
“Ya Muhammad? Kau perintahkan kami –dari Allah, kau bilang- untuk bersaksi tidak ada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad itu utusanNya? Kami terima. Kauperintahkan kami –dari Allah- untuk melakukan salat lima waktu. Kami terima. Kauperintahkan kami puasa satu bulan, kami terima. Kauperintahkan kami untuk melakukan haji, kami terima. Rupanya kamu tidak cukup dengan itu semua, tidak senang dengan sekedar itu saja, kauangkat tangan keponakanmu dan memuliakannya lebih dari kamu semua: Man kuntu mawlaah fa hadza ‘Aliyyun Mawlaah”. Apakah perintah ini berasal dari kamu atau dari Allah ‘Azza wa Jalla? Nabi saw menjawab dengan tegas: Demi yang tidak ada Tuhan kecuali Dia, sungguh ini berasal dari Allah.
Dengan muka masam, Jabir berpaling. Dengan muka yang kesal, ia berdoa: Ya Allah, jika sekiranya apa yang dikatakan Muhammad ini benar, fa amthir ‘alayna hijaaratan minas samaa-i awi’tinaa bi ‘adzaabin aliim. Hujani kami dengan batu-batu dari langit atau timpakan kepada kami azab yang pedih. Kita mendengar gelegar halilintar dan kelebatan kilat, menukik dari langit, menembus kepala Jabir, membelah tubuhnya, dan keluar dari anusnya. Dari langit juga turun ayat al-Quran:
سَأَلَ سَآٮِٕلُۢ بِعَذَابٍ۬ وَاقِعٍ۬ ( ١ ) لِّلۡڪَـٰفِرِينَ لَيۡسَ لَهُ دَافِعٌ۬ ( ٢ )
Seseorang meminta agar azab diturunkan baginya.
(Azab itu pasti menimpanya).
Orang-orang kafir itu tidak bisa menolaknya.
Betapa bodohnya kamu menolak perintah Tuhan? Betapa tololnya kamu menantang azab Tuhan? Betapa malangnya kamu, karena kamu sekarang menggelepar-gelepar disambar halilintar.
Bagian 2
Tangan itu Tangan...
Di tengah sahara yang terhampar sangar
Dalam terik matahari siang yang membakar
Sepasang tangan suci menyapu lahan
di bawah pepohonan
Ia menghadap Ka’bah dan mengangkat kedua tangan
“Allahu Akbar”
Kedua tangan itu tangan Muhammad Rasulullah
Di atas tumpukan pelana kuda dan unta
Di depan pandangan ratusan ribu mata
Ia memandang jauh ke depan
Dengan air mata yang mengelegak dalam genangan
Tangan kanannya mengangkat tangan kiri anak muda
yang berdiri di sampingnya
Tangan kanan itu tangan Muhammad Rasulullah
Menakjubkan, dari bibir suci kalimat lembut memancar
Menyebar di sahara yang terhampar
Bergulung-gulung membentuk awan
Meledakkan gelegar halilintar
Dalam genggaman tangan suci, suara indah terdengar
“Man kuntu mawlah fa ‘Aliyyun mawlah.”
Tangan yang menggenggam itu tangan Muhammad Rasulullah
Mereka berjalan di pinggiran kota Madinah
Di sekitar kota, seperti pagar hidup, ada taman-taman indah
“Taman kamu di surga lebih indah lagi”
Tiba-tiba kedua tangan Nabi memagut Ali
dan dari wajahnya mengalir airmata ke pundak Ali
“Aku menangis karena kedengkian orang banyak kepadamu
Segera setelah aku meninggalkan kamu”
Kedua tangan yang memagut itu tangan Muhammad Rasulullah
Di masjid, Ali tertidur dengan tubuh kelabu tertutup debu
“Biarkan ia tidur, karena sepeninggalku nanti
Ia tak kan sempat beristirahat lagi”
Dengan penuh kasih, tangan itu membersihkan debu-debu di punggungnya
“Duduklah Ya Aba Turab, wahai Sang Bertabur Debu”
Ali terbangun dan kedua pasang mata saling menatap mesra
“Engkaulah pemimpin orang miskin dan orang miskin membanggakan kamu sebagai pemimpin mereka”
Tangan yang menyapu debu itu tangan Muhammad Rasulullah
Di atas pangkuannya, diiringi senyum syahdu
roh suci itu terbang lepas menuju Kekasih Sejati
kedua tangan itu menyapu muka Sang Nabi
Dan mengusapkannya ke mukanya yang sendu
“Kau tetap indah, semasa ada dan setelah tiada”
Air mata melimpah keluar dari sela-sela jari tangannya
Kedua tangan itu tangan Ali Amirul Mukminin
Di pinggir jalan, ia menemukan anak kecil menangis sendirian
Ia mendekatinya, mendekapnya dan mengusap airmatanya
“Kenapa kau menangis, sayang?”
“Tadi aku datang ke sini untuk bermain bersama,
Teman-teman mengusirku dan berkata: Kau tak punya bapak!”
Tangan yang kekar mencecar musuh di Badar sekarang bergetar
Tangan yang kuat memegang pedang di medan perang sekarang berguncang
Dengan gelegak air mata yang tak tertahan
Kedua tangannya memeluknya erat-erat
“Bawa uang ini. Bermainlah dengan mereka. Jika mereka bertanya siapa bapakmu? "
Katakan: Ayahku Ali bin Abi Thalib!
Kedua tangan itu tangan Ali Amirul Mukminin
Imam Hasan membagikan makanan
Pada barisan orang yang kelaparan
Setiap orang memperoleh jatah satu bungkusan
“Bolehkah aku meminta satu bungkus tambahan
Buat seorang kakek yang berbalut peluh
Pekerja kasar di ladang perkebunan.”
“Boleh saja,” kata Imam Hasan pembagi makanan
“Tidakkah kamu lihat tangan buruh itu
Kalau tidak berkeringat basah ia bersimbah darah
Dari aliran keringatnya, kami bagikan makanan
Dari simbahan darahnya, kami tegakkan keadilan
Tangan orang tua itu tangan ayahku Ali Amirul Mukminin”
Bagian 3
Saudara, sekarang kita berada di Kufah. Tangan orang tua itu, tangan Amirul Mukminin, saat ini memegang tangan seorang budak yang baru dibebaskannya. “Siapa namamu?, ” tanya Amirul Mukminin. “Salim, tuan!”
“Tidak, namamu dalam keluargamu adalah Maitsam. Rasulullah saw memberitahukan kepadaku bahwa namamu dalam bahasa kaum kamu, dalam bahasa ‘Ajam adalah Maitsam” Saudara, bayangkan perasaanmu, jika kamu dibebaskan dari penjara oleh tangan suci Amirul Mukminin. Dan namamu pernah disebutkan oleh Junjungan kita Rasulullah saw. Namamu sudah disebut sebelum kamu ada. Maitsam, seperti kita, melonjak bahagia, dan berteriak:
“Shadaqallahu wa Rasuuluh wa shadaqta!” Allah dan RasulNya benar dan engkau juga benar!
Mulai saat itu, tangan lembut Amirul Mukminin sering menarik tangan Maitsam seperti seorang kekasih menarik tangannya. Imam Ali sering membawa Maitsam di pertengahan malam ke sahara. Di bawah cahaya temaram gemintang malam, di tengah-tengah padang pasir yang sunyi, ditiup angin malam yang sejuk, keduanya rukuk dan sujud. Keduanya membasahi butir-butir pasir dengan airmata kekhusyukan mereka. Maitsam menikmati persahabatan yang tidak pernah ia nikmati sebelumnya. Kedua tangan bergandengan, tangan bekas budak dan tangan bangsawan Bani Hasyim. Kecintaan kepada Rasulullah saw telah merobohkan benteng-benteng nasab. Dari tangan Amirul Mukminin mengalir ke tangan Maitsam bukan saja al-barakah al-muhammadiyah, tetapi juga pengetahuan dari pintu kota ilmu Rasulullah saw.
Pada waktu yang lain, tangan suci itu membantu memberikan kurma kepada pembelinya di warung Maitsam. Mereka berdua menunggu warung dan Imam menceritakan kepadanya ajaran-ajaran Nabi saw. Jika orang lewat di hadapan mereka, banyak yang tidak tahu bahwa ada Khalifah sedang duduk bersama penjual korma. Jika mereka tahu, mereka takjub bahwa ada Khalifah sedang duduk bersama penjual kurma. Katakan bahwa cinta suci telah membawa Khalifah dari singgsananya untuk duduk di atas tanah bersama rakyatnya.
Dengarkan ucapan Imam yang lembut dan penuh kasih. Di dalamnya ada iba dan cinta, “Maitsam, aku akan sampaikan kabar gembira padamu?”
“Apa itu, ya Amir al-Mukminin?”
“Kamu akan meninggal dalam keadaan disalib pada batang kurma”
“Maukah aku tunjukkan kepadamu batang kurma, yang di atas itu engkau akan disalibkan?”
“Na’am, ya Amir al-Mukminin!”
Lihat, Lihat, tangan suci Imam Ali sekarang memegang tangan Maitsam, membawanya ke sebuah pohon kurma yang masih kecil. “Di sinilah, kamu akan disalibkan. Dengan batang pohon kurma ini, hai Maitsam, kamu nanti , sepeninggalku, akan disalibkan. Pohon kurma ini nanti akan dipotong menjadi empat bagian. Kamu akan disalibkan pada batang yang paling bawah. Di antara yang disalibkan nanti, kamu adalah yang kesepuluh, berdekatan dengan rumah ‘Amr bin Huraits. Mereka akan memotong tanganmu, kakimu, dan lidahmu. Pada hari yang ketiga, hidungmu akan dicocok sampai darah mengucur deras dari kedua lubang hidungmu dan mulutmu. Dan janggutmu akan tercelup darah. Kamu menjadi orang pertama yang dicocok hidungnya dalam Islam. Akhirnya, tombak menusuk jantungmu.”
“Apakah pada waktu itu akau tetap tegak dan berpegang teguh apada keyakinan yang benar?”
“Betul”, kata Imam.
“Kalau begitu, aku akan tanggung semua azab dan kezaliman dari musuh-musuhmu.”
“Ya Maitsam, kalau begitu, engkau sederajat bersamaku di surga!”
Bagian 3
Kita berada di Kufah lagi, dua puluh tahun, setelah tangan suci itu terkulai, di mihrab Masjid Kufah. Pagi sekali, setelah fajar, Maitsam seperti biasanya mendatangi batang kurma, yang sekarang sudah menjulang tinggi. Ia sendiri sudah tua renta. Rambutnya sudah memutih dan jalannya tidak tegak lagi. Tidak ada lagi tangan suci itu. Ia menyiramkan air pada pohon kurma, sehingga tanah menyemburkan sedapnya aroma debu. Ia salat dua rakaat. Kemudian, ia sandarkan punggungnya ke batang kurma. Selama dua puluh tahun, ia melakukan hal yang sama: menyiram kurma, mencium aroma tanah, melakukan salat dua rakaat, menyandarkan punggungnya, dan mengajak pohon kurma itu bicara:
Allah menumbuhkan kamu untukku dan aku dihidupkan Allah demi kamu.
أنبتك الله من أجلي وغزاني من أجلك
Ia juga sering berkunjung ke tetangga pohon kurma itu, ‘Amr bin Harits. “Aku akan menjadi tetanggamu. Perlakukanlah aku dengan baik, ” kata Maitsam. Pada ujung tahun itu, Maitsam pergi ke Makkah, menunaikan ibadah haji. Sebelum meninggalkan Madinah, ia menemui Ummu Salamah, Ummul Mukminin, istri Nabi saw yang paling setia: Siapakah kamu? Saya Maitsam, ya Ummal Mukminin. “Demi Allah, aku pernah mendengar Rasulullah saw Allah saw berpesan kepada Imam Ali dan menyebut namamu di pertengahan malam.”
“Di manakan permata hati Nabi saw- al-Husain?”
“Ia ada di kebunnya.”
“Beritahukan kepada beliau bahwa saya ingin sekali menyampaikan salam rinduku kepadanya. Tetapi saya lagi bergegas pulang. Sampaikan salam rinduku baginya. “
Ummu Salamah menyuruh pembantunya memberikan minyak kepada Maitsam. Ia celup janggutnya dengan minyak itu, sambil berkata, “Aku celup janggutku dengan minyak ini, karena sebentar lagi janggut ini akan bersimbah darah.”
“Siapa yang memberitahu kamu,” kata Ummu Salamah
“Anba-ani sayyidii. Junjunganku memberitahukan itu kepadaku”
“Ya Maitsam, dia bukan hanya junjunganmu. Dia juga junjunganku dan junjungan seluruh umat Islam.”
Begitu Maitsam sampai di Kufah, ia ditangkap dan dihadapkan pada Ubaidullah bin Ziyad. Tentara yang menangkapnya memperkenalkannya: Inilah si pembohong maula Pembohong juga!
“Tidak. Aku adalah orang yang benar, mawla orang yang selalu benar”
“Kata orang, kamu paling dekat dengan Abu Turab”
Maitsam mendongakkan kepalanya: “Memang, apa maumu?”
“Akan kupotong tanganmu, kakimu, dan lidahmu!”
Maitsam terkesiap, “aku sudah diberitahu oleh junjunganku bahwa tangan, kaki, dan lidahku akan dipotong dan akan disalibkan pada batang kurma!”
“Aku akan buktikan bahwa imam kamu bohong. Salibkan dia di tiang kurma. Potong tangannya, potong kakinya, tapi biarkan lidahnya.”
Mari kita temui Maitsam. Di atas salibnya, ia tidak henti-hentinya menyampaikan hadis-hadis tentang Imam Ali. Sampai lidahnya dipotong, sampai hidungnya dicocok, sampai janggutnya basah kuyup dengan darahnya. Mari kita ulangi lagi ucapan Maitsam kepada Imam Ali. Bayangkan airmata kita memenuhi telapak tangan suci Penerima wasiat Nabi saw. Shadaqallahu wa Rasuuluh wa shadaqta, ya Amiral Mukiminiin. ***