Berlari Menuju Allah
Berulang kali Allah mengingatkan kita untuk mengikuti jalan orang yang kembali kepada-Nya. Satu di antara jalan kepada Allah adalah dengan menyucikan diri, meninggalkan unsur tanah kita untuk menyerap sifat-sifat Allah.
TASAWUF
8/25/20254 min read


Puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah dan shalawat beserta salam moga tercurah kepada Nabi akhir zaman Baginda Nabi Muhammad Shallallohu ‘alaihi wa aalihi wasallam.
Pada hari yang istimewa ini, marilah kita meningkatkan ketakwaan kepada Allah Subhana wa Ta’ala. Marilah kita mentaati Baginda Nabi Muhammad Shallallohu ‘alaihi wa aalihi wasallam dengan mengambil teladan atas perilaku dan kata-kata yang baik serta tidak menenteramkan jiwa.
Islam adalah agama yang melanjutkan tradisi Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Ibadah haji, misalnya, adalah salah satu contoh tradisi Nabi Ibrahim yang masih terus dilaksanakan. Pada ibadah shalat, kita mengakhiri shalat dengan membaca shalawat kepada Nabi Ibrahim dan keluarganya kemudian kepada Nabi Muhammad dan keluarganya.
Al-Quran banyak menceritakan perjalanan kehidupan Nabi Ibrahim. Berkaitan dengan hal ini, Al-Quran mengisahkan saat Allah bertanya kepada Ibrahim: Fa ayna tadzhabun. Lalu, akan ke mana kamu (hendak) pergi? (Al-Quran surah Al-Takwir ayat 26). Al-Quran pun mengisahkan jawaban Nabi Ibrahim: Sesungguhnya aku pergi menghadap Tuhanku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku (QS. Al-Shaffat: 99).
Pertanyaan fa ayna tadzhabun? Lalu ke mana kamu (hendak) pergi? juga dikenal dalam istilah Latin yang menyebutnya, “Quo Vadis?” Istilah Latin itu ditujukan untuk orang yang agak menyimpang atau aneh. Demikian pula dengan Al-Quran. Dengan itu Al-Quran bertanya kepada orang-orang yang jalannya melenceng, kepada mereka yang ada di persimpangan jalan. Pertanyaan itu mengandung arti apa sebenarnya tujuan akhir dari perjalanan hidup kita. Apakah itu berupa karir, kedudukan, kekayaan, atau kemasyhuran.
Seperti jawabkan Nabi Ibrahim, seorang sufi (orang Islam yang menempuh jalan kesucian) adalah ia yang telah mengambil keputusan bahwa perjalanannya adalah untuk menuju Allah. Dalam hidupnya, seorang sufi senantiasa pergi ke arah hadirat Tuhannya.
Allah menciptakan manusia dari tanah, yang merupakan lambang dari kehinaan dan kekotoran. Al-Quran menyebutkannya sebagai nuthfah atau saripati tanah. Setelah proses penciptaan dari tanah itu, Allah menyatakan: Lalu aku tiupkan ke dalamnya ruh-Ku (QS. Al-Hijr: 29). Karena terbuat dari tanah, sifat kemanusiaan (basyariyyah) manusia menjadi selalu kotor. Seorang sufi ialah ia yang ingin menafikan kekotoran basyariyyah-nya, yakni seluruh sifat tanahnya dan ingin menyerap unsur ruh Allah yang ditiupkan kepadanya. Ia meninggalkan sifat tanahnya untuk kemudian pergi dalam perjalanan menuju Allah. Perjalanan dari unsur tanah kepada unsur ruh Ilahiah itulah yang dikenal sebagai tasawuf.
Al-Quran senantiasa mengingatkan kita untuk mulai berangkat menuju Allah. Allah berfirman: “Karena itu, bersegeralah berlari kembali menuju Allah” (QS. Al-Dzariyat: 50).
Al-Quran tidak hanya menyuruh kita untuk berjalan, tetapi ia bahkan memerintahkan kita berlari kepada-Nya. Hidup adalah terlalu singkat untuk diisi dengan pergi menuju Allah dengan cara berjalan. Kita harus berlari sebelum waktu kita di dunia habis dan berakhir. Kita harus berlari dari segala yang menarik perhatian kita, menuju kepada satu, Allah.
Sebuah hadis riwayat Ahmad dan Al-Thabrani berbunyi, “Barangsiapa yang mendekati Allah sesiku, Dia akan mendekatinya sehasta. Barangsiapa mendekati Allah sambil berjalan, Allah akan menyambutnya sambil berlari.” Dari hadis ini diketahui bahwa balasan dari Allah selalu lebih hebat dari apa yang kita lakukan.
Dalam Al-Quran surat Luqman ayat 15, Allah berfirman: “Ikutilah jalan orang yang kembali pada-Ku. Kemudian, hanya kepada-Kulah kembalimu. Lalu Aku memberitahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”
Baginda Nabi Muhammad saw pernah bertanya kepada para sahabatnya, “Bagaimana keadaan kalian, seandainya di antara kalian suatu saat berada di padang pasir membawa perbekalan dan unta, lalu kalian tertidur. Ketika bangun, kalian mendapati unta dan perbekalanmu hilang?”
Kemudian para sahabat menjawab, “Tentu cemas sekali, ya Rasulallah!”
Rasulullah melanjutkan, “Di saat kalian cemas, tiba-tiba kalian lihat unta itu kembali dari tempat jauh dan menghampiri kalian dengan membawa seluruh perbekalanmu. Apa perasaan kalian?”
Para sahabat kembali menjawab, “Tentu kami akan bahagia sekali.”
Nabi Muhammad Shallallohu ‘alaihi wa aalihi wasallam yang mulia berkata, “Allah akan lebih bahagia lagi melihat hamba-Nya yang datang kepada-Nya daripada kebahagiaan seseorang yang kehilangan unta kemudian ia melihat untanya datang kembali kepadanya.”
Berulang kali Allah mengingatkan kita untuk mengikuti jalan orang yang kembali kepada-Nya. Satu di antara jalan kepada Allah adalah dengan menyucikan diri, meninggalkan unsur tanah kita untuk menyerap sifat-sifat Allah. Perjalanan menuju Allah harus dilakukan dengan menyucikan diri dan membersihkan hati. Hati kita sering terkotori dengan dosa yang kita lakukan. Dosa-dosa itu menghijab kita dari Allah. Mereka yang mampu berjumpa dengan Allah adalah mereka yang membawa hati yang bersih, bukan yang membawa harta dan anak-anaknya.
Dalam bahasa Arab, kata tazakka yang berarti menyucikan diri, juga berarti tumbuh. Karena itu, dalam agama Islam, pertumbuhan seseorang diukur dari tingkat kesucian dirinya. Semakin suci dan bersih seseorang maka semakin tinggi pula derajatnya.
Upaya kita menyucikan diri harus kita iringi dengan proses meninggalkan rumah kita. Allah berfirman: “Barangsiapa yang keluar dari rumahnya dengan maksud untuk berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, lalu kematian menjemputnya, maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah... (QS. Al-Nisa: 100).
Biasanya orang menafsirkan ayat ini secara harfiah; dengan mengartikannya sebagai orang yang pergi meninggalkan Mekkah menuju Madinah dalam peristiwa Hijrah. Para sufi menafsirkan kata “rumah” dalam ayat itu sebagai diri, egoisme, atau keakuan kita, rasa bangga yang ada pada kita. Kita selalu berpikir akan kepentingan pribadi semata. Bila kita beribadat, itu pun dilakukan dalam konteks kepentingan diri kita. Kita bersedekah untuk menolak bencana demi keselamatan diri kita. Kita menunaikan shalat agar terhindar dari neraka dan mengharapkan pahala. Kita sering beribadah dengan ibadah para pedagang. Kita menjual ibadah kita untuk ditukar dengan pahala. Dalam ibadah, kita mengutamakan kepentingan pribadi kita.
Seharusnya kita berupaya keluar dari “rumah” dalam arti egoisme kita. Kita beribadah harusnya bukan karena mengharap pahala, tetapi karena rasa terima kasih kepada Allah. Kita harus merasa berutang budi atas segala anugerah Allah yang tercurah kepada kita. Itulah ibadah yang sesungguhnya yang dilandaskan pada hubungan cinta kepada Allah.
Al-Quran menyebut orang yang beribadah kepada Allah tanpa meninggalkan egoisme, yang disebabkan terlalu cinta akan dirinya, sebagai orang yang telah mengambil Tuhan selain Allah. Ia mencintai dirinya lebih dari ia mencintai Allah. Allah Subhana wa Ta’ala berfirman: “Di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah. Mereka mencintainya sama seperti mereka mencintai Allah. Sementara orang-orang yang beriman sangat mencintai Allah” (QS. Al-Baqarah: 165). ***