Emansipasi: Jenis Perbudakan Baru?
Emansipasi yang seharusnya membebaskan wanita dari perbudakan malah menjerumuskannya pada perbudakan baru. Pada masyarakat kapitalis, wanita telah menjadi komoditas yang diperjualbelikan. Mereka dijadikan sumber tenaga kerja yang murah atau dieksploitasi untuk menjual barang.
KHAZANAH
KH Dr Jalaluddin Rakhmat MSc
6/12/20256 min read


Emansipasi yang seharusnya membebaskan wanita dari perbudakan malah menjerumuskannya pada perbudakan baru. Pada masyarakat kapitalis, wanita telah menjadi komoditas yang diperjualbelikan.
Mereka dijadikan sumber tenaga kerja yang murah atau dieksploitasi untuk menjual barang. Beberapa jenis industri mutakhir seperti mode, kosmetik dan hiburan, hampir sepenuhnya memanfaatkan perempuan.
Pendidikan dan media masa menampilkan citra wanita yang penuh glamour, sensual dan fisikal. Pada masyarakat yang bebas, wanita dididik untuk melepaskan segala ikatan normatif kecuali kepentingan industri. Tubuh mereka dipertunjukkan untuk menarik selera konsumen. Mobil mewah tidak lengkap bila perempuan setengah telanjang tidak tidur di atasnya. Kopi tidak enak bila tidak disajikan oleh gadis belia yang seronok. Rokok baru memuaskan bila diselipkan disela-sela bibir yang menantang.
Ketika kaum wanita mulai memberontak peran yang diberikan oleh masyarakat industri, segera mereka dituduh kolot. Mereka disebut kampungan, bodoh dan tradisional. Ketika wanita-wanita berjilbab berbaris panjang di London dan Paris, masyarakat Barat tercengang.
“Pemakaian jilbab bukan saja lambang kesucian tetapi juga mencerminkan penolakan terhadap peran wanita untuk mengorbankan kewanitaannya di altar laba. Tetapi ini tidak akan menyakinkan suami, yang boleh jadi tidak memahami apa yang terjadi pada dirinya. Sebab lama sebelum peradaban barat merampas suaminya, peradaban itu telah merampas identitas kewanitaannya.”
Kita sekarang sudah berada pada masyarakat industri. Apa yang dialami seorang suami tersebut boleh jadi sudah dialami oleh banyak saudara muslimah kita. Kehadiran wanita dipasaran kerja, kegiatan mereka di pabrik-pabrik, perlombaan mereka mengejar karir telah mengacaukan peran wanita. Kegelisahan wanita sekarang terjadi kekacauan peran. Citra wanita yang menjadi rujukan tumpang tindih. Ibunya mengajarkan ia untuk mendampingi suami dan berkhidmat kepadanya. Tekanan ekonomi menuntutnya untuk bekerja disamping lelaki yang bukan keluarganya. Anaknya meminta kehadiran ibu untuk menenteramkan hatinya dan mendidiknya cara hidup yang baik.
Persaingan karir memaksanya untuk meninggalkan anak-anak bersama pembantunya. Wanita sebetulnya tidak menghadapi dilema antara pekerjaan dan keluarga, antara karir dan anak-anaknya. Yang mereka hadapi adalah krisis identitas. Mereka memerlukan acuan untuk meredifikasikan peran mereka. Mereka perlu melihat kembali tokoh ideal mereka. Marilah kita lihat siapakah figur wanita ideal yang diajarkan Islam.
Sosok Wanita Ideal dalam Islam
“Rasulullah saw, membuat empat buah garis seraya berkata: “Tahukah kalian apakah ini? Mereka berkata: “Allah dan Rasulnya lebih mengetahui.” Nabi saw, lalu bersabda: “Sesungguhnya wanita ahli surga yang paling utama adalah Khadijah binti Khuwailid, Fathimah binti Muhammad Saw, Maryam binti ‘Imran dan Asiyah binti Mazahim.”
(Mustadrak Al-Shahihain 2:497. Kata al-Hakim: “Hadis ini sanadnya sahih;” juga diriwayatkan oleh Ahmad dalam musnadnya 1 : 293, 316, 322; Ibnu Abdul Al-Barr 2:720; Fathul Al-Bari 7:257; Tafsir Al-Durr Al-Mantsur 8:229; dan lain-lain).
Tokoh Khadijah binti Khuwailid
Khadijah binti Khuwailid dikenal sebagai wanita terhormat, seorang pengusaha multinasional yang disegani. Masa mudanya ia habiskan dalam –istilah sekarang− membina karir. Kemudian ia mempersembahkan semua yang dimilikinya untuk perjuangan suaminya− menegakkan ajaran Islam.
Selama bertahun-tahun Khadijah mendampingi Muhammad SAW membina keluarga yang penuh ketentraman dan kebahagiaan. Ketika Rasulullah SAW, mendapat tugas yang berat –mengemban risalah ilahiyah− Khadijah meneguhkan hatinya dan menambah kepercayaan dirinya. Ketika Nabi didustakan kaumnya, Khadijah meyakininya dengan tulus. Ketika masyarakatnya menyembah berhala, dibelakang penghulu para Nabi ia bersujud menyembah Allah YME.
Ketika tantangan demi tantangan menghantam Nabi SAW, dengan setia Khadijah menemui suaminya –menegakkan yang goyah, memperkukuh yang tegar. Pada waktu orang-orang Quraisy mengucilkan Keluarga Rasulullah dipadang nan gersang, Khadijah meninggalkan rumahnya yang megah. Dia tidur dalam kemah yang sederhana, setiap hari dia bekerja keras membagikan makanan yang sedikit kepada para pengikut Rasulullah SAW. Tidak jarang dia dan suaminya tidak kebagian makanan. Begitu kerasnya Khadijah membantu suaminya, sehingga jatuh sakit.
Khadijah meninggal dunia tidak lama setelah pemboikotan dihapuskan. Tahun ketika Khadijah wafat disebut Nabi SAW sebagai “Tahun duka cita”. Pada tahun yang sama, Abu Thalib RA, paman yang menggantikan kedudukan ayah bagi Nabi SAW, juga meninggal dunia. Rasulullah SAW tidak pernah melupakan Khadijah yang menyertainya selama lebih dari 25 tahun. (selama itu Nabi SAW tidak pernah mengambil wanita lain disampingnya).
Bertahun-tahun kemudian, di depan Aisyah Nabi SAW masih juga sering menyebut nama Khadijah. Tidak sanggup menahan cemburunya, Aisyah berkata: “Ah, perempuan tua itu engkau sebut-sebut juga, padahal Allah telah memberi ganti yang lebih baik.” Nabi SAW murka sehingga berguncang rambut di ubun-ubunnya.
Beliau bersabda, “Demi Allah, tidak ada yang dapat menggantikan Khadijah. Dia mempercayaiku, ketika manusia menentangku. Dia membenarkanku ketika orang mendustaiku. Dia memberikan hartanya untukku ketika orang lain mengharamkan hartanya. Dia memberiku keturunan ketika istriku yang tidak sanggup memberikannya.” (HR.Bukhari dan Muslim; juga Musnad Ahmad 6:117, Shahih Al-Tirmidzi 5:366, Sunan Ibnu Majah 1:643, dan lain-lain)
Tokoh Fathimah al-Zahra
Tidak mungkin di sini kita melukiskan seluruh pribadi Fathimah. Ali Syari’ati menulis Fathimah is Fathimah. Al-Hamidi juga menulis buku khusus tentang Fathimah. Saya memohon pembaca merujuk buku itu untuk mengkonfirmasikan apa yang saya sampaikan di sini. Fathimah mewarisi kepribadian tokoh Maryam binti ‘Imran yang di dalam Al-Quran dilukiskan sebagai wanita suci. Waktunya dipenuhi dengan dzikir dan ibadat. Begitu dekatnya Maryam dengan Allah, sehingga makanan diberikan ke dalam mihrabnya dari langit.
Karena kesuciannya, Allah menganugerahkan Isa putra Maryam, manusia mulia di dunia dan di akhirat (Surah Maryam 17-33 dan Ali Imran 42-45). Seperti Maryam, Fathimah juga masyhur karena ibadatnya. Putranya pernah menyaksikan ibunya menghabiskan hampir seluruh malamnya dalam ibadat dan do’a. Ketika tangannya melepuh karena memutar penggilingan gandum, ketika dia harus bekerja memintal benang untuk dibayar dengan gandum, dia meminta kepada Nabi SAW, untuk diberikan budak. Nabi yang mulia datang ke rumahnya di malam hari. Beliau tidak memberi budak. Beliau mengajari Fathimah membaca Takbir sebanyak 34 kali, Tahmid 33 kali, Tasbih 33 kali. Wirid ini kemudian dikenal sebagai wirid Fathimah. Bersama Ali, Al-Hasan dan Al-Husain dia termasuk Ahlul-Bayt yang disucikan.
Sesungguhnya Allah bermaksud menghilangkan segala dosa dari kamu, hai Ahlul-Bayt dan mensucikan kamu sesuci-sucinya. (Al-Ahzab 33).
Namun Fathimah juga mewarisi karakter ibunya sendiri. Dia hidup sederhana disamping suaminya, Ali bin Abi Thalib. Ketika berbagai pertempuran mengembalikan Ali ke haribaan Fathimah dalam keadaan penuh luka, dengan penuh kasih sayang Fathimah merawatnya.
“Setiap kali aku menyembuhkan lukanya yang lama, terbukalah luka yang baru,” ujar Fathimah menceritakan suaminya. Dalam keadaan sederhana sekalipun, dia sangat pemurah. Pernah suatu ketika Fathimah memberikan kalung hadiah ibunya kepada seorang peminta, ketika dia tidak mempunyai apapun yang dapat diberikan.
Dia pernah kelaparan tiga hari tiga malam karena menyedekahkan makanannya kepada anak yatim, orang miskin dan para tawanan. Seperti Khadijah, Fathimah mempersembahkan apapun yang dimilikinya untuk Islam.
Terakhir, Fathimah menghimpun akhlaq Asiyah binti Mazahim, hari-hari terakhir dalam kehidupannya dipenuhi perjuangan menegakkan keadilan. Kalau Asiyah menentang kezaliman suaminya, Fathimah berjuang menentang kezaliman yang dilakukan lawan suaminya.
Dia pernah berpidato dihadapan para sahabat Nabi SAW, menuntut tanah fadak pemberian Rasulullah SAW, bukan karena rakus harta tetapi karena memperjuangkan haknya. Di rumahnya, pernah berkumpul pihak oposisi bukan karena dia mempunyai ambisi politik, tetapi karena dia tidak dapat berkompromi dengan pelanggaran kebenaran. Tampaknya, pada Fathimahlah seharusnya wanita Muslimah mendefinisikan dirinya.
Dalam sejarah Islam, khutbah Nabi di masjid Kheif sering disebut sebagai khutbah hajji Wada’ (khutbah hajji perpisahan). Seperti dijelaskan oleh Rasulullah SAW setelah khutbah itu, bahwa beberapa kali kemudian beliau berangkat menemui Allah Rabbul ‘Alamin.
Nabi tidak pernah haji lagi setelah itu. Beliau pergi untuk selama-lamanya. Marilah kita merenungkan sebagian khutbah Nabi pada hajji Wada’ itu.
Pertama, Rasulullah mengingatkan kita untuk menjaga persaudaraan diantara kaum Muslim, darah, harta dan kehormatan kaum Muslim tidak boleh diganggu. Kita dilarang melukai sesama Muslim, dilarang mengambil harta dengan cara yang haram, dan dilarang menghina, menfitnah, mencemohkan dan hal-hal lain yang meruntuhkan kehormatan. “Memaki seorang Muslim itu durhaka dan membunuhnya kafir,” kata Rasulullah SAW. Lalu siapakah orang Islam yang sebenarnya? Orang Islam, kata Rasulullah SAW, “ialah orang yang menyelamatkan orang Islam lain dari gangguan lidah dan tangannya.” (Kanz Al-‘Ummal 1:149).
Kedua, Nabi Muhammad SAW memperingatkan kaum Muslim untuk memelihara akidahnya. Karena kalau akidah sudah rusak, mereka akan saling membunuh. Kemudian dia berwasiat agar kita tetap berpegang teguh kepada Al-Quran dan Ahlul-Bayt-nya. “Janganlah kalian kembali kufur, sehingga sebagian diantara kamu menyerang sebagian yang lain. Aku tinggalkan untuk kalian dua hal yang apabila kalian pegang teguh, kalian tidak akan sesat selama-lamanya; Kitab Allah dan keluargaku. Allah yang Mahakasih dan Maha Tahu telah memberitahukan kepadaku bahwa keduanya tidak akan berpisah sampai keduanya datang kepadaku di telaga pada hari kiamat. Maka barang siapa berpegang teguh kepada keduanya akan selamat; barang siapa menyalahi keduanya, mereka akan ditimpa celaka.”
Ketiga, Rasulullah SAW mewasiatkan kepada setiap suami yang Muslim untuk berlaku baik terhadap istrinya. “Wahai manusia, sesungguhnya istri kalian mempunyai hak atas kalian sebagaimana kalian mempunyai hak atas mereka. Hak kalian atas mereka ialah mereka (para istri) tidak boleh mengizinkan orang yang tidak kalian senangi masuk kerumah kalian kecuali dengan izin kalian. Terlarang bagi mereka melakukan kekejian. Jika mereka berbuat keji, bolehlah kalian menahan mereka dan menjauhi tempat tidur mereka, serta memukul mereka dengan pukulan yang tidak melukai mereka. Jika mereka taat, maka kewajiban kalian adalah menjamin rezeki dan pakaian mereka sebaik-baiknya. Ketahuilah, kalian mengambil wanita itu sebagai amanah dari Allah, dan kalian menghalalkan kehormatan mereka dengan Kitab Allah. Takutlah kepada Allah dalam mengurus istri kalian. Aku mewasiatkan kalian untuk selalu berbuat baik kepada mereka.
“Perhatikan, bagaimana pada saat-saat terakhir dari kehidupan beliau, Rasulullah mewasiatkan kepada para suami untuk membahagiakan istri-istri mereka. Tidaklah akan memuliakan istri kecuali laki-laki yang mulia dan tidak akan menghinakannya kecuali laki-laki yang hina.”
Itulah sebagian kecil dari khutbah Rasulullah di Mina. Sungguh kita akan membahagiakan hati Rasulullah SAW, bila kita berhasil melaksanakan wasiatnya: memelihara persaudaraan diantar kaum Muslim, berpegang teguh kepada Al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAW, yang dibawa oleh keluarganya yang suci, serta menjaga kebahagiaan rumah tangga kita dengan sikap saling mencintai dan menghormati. ***