Muslim Sunni dan Muslim Syiah, Perlu Merajut Ukhuwah

Dalam perkuliahan di UIN Sunan Gunung Djati Bandung, isu tentang Sunni dan Syiah dibahas dalam mata kuliah Ilmu Kalam, Perkembangan Pemikiran Modern dalam Islam, dan Sejarah Peradaban Islam.

UKHUWAH

Ahmad Sahidin, M.Hum (alumni UIN Sunan Gunung Djati Bandung)

7/3/20252 min read

Sekarang ini, Sunni dan Syiah menjadi persoalan yang sedang hangat. Ditambah lagi dengan hadirnya gerakan yang gencar untuk mengeluarkan mazhab Syiah dari Islam, menambah persoalan keagamaan di Indonesia makin semraut.

Dalam perkuliahan di UIN Sunan Gunung Djati Bandung, isu tentang Sunni dan Syiah dibahas dalam mata kuliah Ilmu Kalam, Perkembangan Pemikiran Modern dalam Islam, dan Sejarah Peradaban Islam.

Bagi yang pernah belajar di UIN, akan mengetahui bahwa persoalan Sunni dan Syiah bermula dari politik berlanjut dengan perbedaan menafsirkan sumber-sumber Islam. Silakan baca dan dirujuk buku-buku karya Harun Nasution, Nurcholish Madjid, Murtadha Muthahhari, Yusuf Qaradhawi, Afif Muhammad, Mulyadhi Kartanegara, Muhammad Husein Thabathabai, Azyumardi Azra, Abdul Aziz Sachedina, Abuddin Nata, Majid Fakhri, Abdul Sani, Muhammad Quraish Shihab, dan lainnya.

Memang harus diakui ada perbedaan antara Sunni dan Syiah. Dari perbedaan itu, persoalan kepemimpinan politik pascaRasulullah saw yang menjadi dasar ikhtilaf. Aspek fikih dan tafsir Al-Quran tidak terlalu besar karena dari masing-masing rujukan berujung kepada Rasulullah saw. Sudah banyak buku yang mencoba menjelaskan secara umum kesamaan dan perbedaannya. Seperti Buku Putih Mazhab Syiah dan Syiah Menurut Syiah, yang diterbitkan ormas Ahlulbait Indonesia. Juga buku Sunni dan Syiah Bergandengan Tangan, Mungkinkah? karya Muhammad Quraish Shihab, atau buku Memahami Syiah Merajut Ukhuwah dan Polemik Sunni Syiah karya Muhammad Babul Ulum. Buku tersebut kemudian direspons oleh kalangan yang tidak simpati dengan Syiah dengan berbagai argumentasi. Sayangnya, dari respons tersebut ikhtilaf tidak berakhir malah semakin terlihat betapa enggan orang untuk merajut ukhuwah Islamiyah.

Sadarilah bahwa ukhuwah penting bagi umat Islam. Di masjidil Haram dan masjid Al-Munawwarah, orang Islam dengan berbagai mazhab hadir dan ibadah. Tidak rebut soal mazhab, apalagi larang melarang dalam ibadah. Di kedua masjid itu, kaum Muslim Syiah yang haji dan umrah tetap ikut imam masjid dari mazhab Wahabi kala shalat wajib. Tidak boikot ibadah shalat.

Percayalah ikhtilaf hanya sebatas wacana dan ilmu. Mengapa itu dipertajam? Bahkan merasa puas kala seseorang bisa menyalahkan cara dan praktek ibadah, atau mematakan argumentasi seseorang dalam sebuah diskusi. Ada seorang kyai yang merasa puas kala bisa menyalahkan buku yang ditulis seorang doktor. Sayangnya, baru sebatas emosi tanpa mengkaji secara akademik dengan rangkaian procedural layaknya seorang peneliti di tingkat perguruan tinggi. Sebar sana sini dalam medsos. Bangga dirinya berhasil meluruskan yang bengkok. Kala dibaca karya tersebut, jauh dari suasana akademik. Bahkan tidak memenuhi standar penerbitan buku.

Saya hanya bisa senyum. Karena saya percaya bahwa beragama dan memahami agama itu urusan personal. Universitas yang mengukur karya akademik dan tidaknya. Seorang yang tidak berurusan dengan dunia ilmiah, jangan kepedean mengaku ilmiah.

Sekali lagi saya tegaskan bahwa beragama dan berkeyakinan itu bersifat personal. Meski ada komunitas atau kumpulan jamaah, itu juga termasuk eksklusif dan bukan wilayah publik. Hanya yang tergabung saja yang masuk. Tentu itu bukan wilayah orang luar dari komunitas tersebut. Saya percaya, Islam itu rahmatan lil’alamin. Karena itu, mari wujudkan Islam yang Rahmatan lil ‘alamin. Jangan sampai menjadi la’natan lil ‘alamin. ***