Pendidikan Al-Quran di Indonesia
Dalam perspektif manajemen pendidikan, komitmen tenaga pendidik adalah salah satu kunci utama keberhasilan program.
PENDIDIKAN
10/4/20253 min read


Di banyak negara Muslim, khususnya Iran dan Irak, pembelajaran Al-Qur’an menjadi fondasi utama pendidikan anak sejak usia dini. Para ulama terdahulu yang ternama seperti Ibnu Sina dan Imam Syafii sejak dini belajar Al-Quran dan menjadi hafidz. Begitu pun ulama seperti Sayyid Muhammad Husain Fadhlullah, Muhammad Baqir Shadr, Hasan Al-Bana dan lainnya sejak dini belajar Al-Quran sebagai fondasi sebelum belajar disiplin ilmu lainnya. Sehingga dapat pahami agama (pendidikan Al-Quran) menjadi fondasi menuju tumbuh kembang manusia Muslim untuk mencapai kemajuan dan Muslim yang beradab.
Secara umum diketahui di negeri-negeri Muslim (bukan Indonesia) sebelum diperkenalkan pada pelajaran umum bahwa anak-anak lebih dahulu diajarkan membaca, menghafal, dan memahami Al-Qur’an secara dasar. Model ini terbukti mampu membentuk karakter Muslim yang kuat secara spiritual, menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman utama dalam hidup dan membangun komitmen religius yang kokoh sejak dini.
Berbeda halnya dengan praktik pendidikan di Indonesia, khususnya luar pesantren dan madrasah. Kurikulum formal justru mendahulukan pembelajaran calistung (membaca, menulis, berhitung) dan dilanjutkan dengan pelajaran umum seperti Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), seni budaya, dan pendidikan jasmani (olahraga).
Sementara pelajaran agama hanya diberikan secara umum mencakup materi akidah, fikih, Al-Qur’an-Hadis, akhlak, dan sejarah peradaban Islam. Materi tersebut disatukan dalam pelajaran Pendidikan Agama Islam. Tidak ada pendalaman khusus yang berkesinambungan terhadap pembacaan maupun pemahaman Al-Qur’an. Karena itu, anak-anak Muslim yang tumbuh tanpa kemampuan membaca Al-Qur’an yang baik dan benar, serta mengalami keterputusan antara nilai-nilai agama dan kehidupan sehari-hari, dikarenakan pelajaran agama lebih bersifat formalitas semata.
Hal ini menimbulkan keprihatinan dan memunculkan pertanyaan tentang efektivitas manajemen pendidikan keagamaan di Indonesia. Ada beberapa sekolah tingkat remaja di Kota Bandung dan Kabupaten Bandung, baik negeri maupun swasta (non Islam terpadu) dapat menjadi contoh menarik. Sekolah yang tidak berbasis agama tentu wajar jika tidak ada orientasi pada peningkatan pembacaan dan pemahaman Al-Quran. Namun, pada lembaga yang menggunakan slogan agama dan sekolah yang mewajibkan ada bimbingan Al-Qur’an dan Iqro menjadi layak dikaji jika ditemukan masih ada anak-anak sekolah yang tidak tuntas dalam belajar baca Al-Quran. Sebab ini juga dicanangkan Kementerian Agama dengan program Tuntas Baca al-Quran (TBQ) dengan tujuan tidak ada buta Al-Quran untuk generasi Muslim. Kenyataannya di sekolah yang mengusung TBQ pun ternyata ada masalah yakni para guru tidak memiliki komitmen, tidak disiplin dan tidak kompeten, sehingga menjadi kendala untuk tercapainya TBQ. Tentu ini tantangan manajerial yang harus ditelaah secara serius.
Analisis Manajerial
Dalam perspektif manajemen pendidikan, komitmen tenaga pendidik adalah salah satu kunci utama keberhasilan program. Kurangnya komitmen guru dalam konteks pengajaran Al-Qur’an bisa ditelusuri dari beberapa aspek:
Pertama, kedisiplinan Waktu. Kurangnya disiplin waktu menunjukkan lemahnya budaya profesionalisme. Ini bukan hanya permasalahan individu, tapi juga sistemik—tidak adanya penegakan standar kerja, pemantauan performa, atau reward and punishment yang jelas dari pihak manajemen sekolah.
Kedua, tidak ada aturan formal terkait tugas pengajar. Jika tanggung jawab mengajar Al-Qur’an tidak dilegitimasi dalam kontrak kerja atau sistem penilaian kinerja, maka akan muncul sikap "pilihan", bukan "kewajiban". Akibatnya, guru tidak merasa berkewajiban untuk mengajar dengan maksimal. Ini mencerminkan lemahnya sistem manajemen mutu internal sekolah.
Ketiga, kompensasi yang tidak relevan. Tanpa insentif yang memadai—baik finansial maupun non-finansial—aktivitas mulia seperti mengajar Al-Qur’an bisa menjadi beban tambahan yang tidak sebanding dengan energi yang dikeluarkan. Dalam manajemen sumber daya manusia, ketimpangan antara beban kerja dan kompensasi menjadi faktor utama rendahnya motivasi.
Solusi Strategis
Agar murid dapat tumbuh menjadi pribadi yang saleh, cerdas, dan mampu menjawab tantangan zaman, perlu dilakukan restrukturisasi dari sisi manajemen sekolah. Beberapa solusi berikut bisa menjadi rujukan:
Pertama, integrasi kurikulum Al-Qur’an secara sistematis. Pembelajaran Al-Qur’an harus menjadi bagian dari kurikulum inti, bukan tambahan. Setiap jenjang pendidikan perlu memiliki capaian kompetensi Al-Qur’an yang terukur: dari membaca dengan tartil, memahami makna, hingga menginternalisasi nilai-nilainya dalam sikap sehari-hari.
Kedua, penataan sumber daya manusia. Sekolah harus menetapkan standar rekrutmen guru Al-Qur’an yang jelas. Selain itu, guru yang ada perlu diberikan pelatihan berkala agar memiliki kompetensi pedagogik dan spiritual yang memadai. Penguatan karakter guru juga penting untuk membentuk keteladanan.
Ketiga, sistem reward and punishment yang adil. Guru yang menunjukkan dedikasi tinggi harus diberikan apresiasi, baik dalam bentuk finansial maupun pengakuan institusional. Sebaliknya, guru yang tidak disiplin harus dikenai sanksi yang tegas dan konsisten.
Keempat, monitoring dan evaluasi berbasis kinerja. Manajemen sekolah harus rutin mengevaluasi capaian pengajaran Al-Qur’an, baik dari sisi guru maupun siswa. Ini mencakup presensi, kualitas interaksi pengajaran, hingga dampaknya terhadap akhlak siswa. Evaluasi berbasis data ini penting untuk pengambilan keputusan.
Kultur Sekolah
Pendidikan karakter berbasis Al-Qur’an tidak cukup diajarkan, tetapi harus ditanamkan lewat budaya sekolah. Pembiasaan seperti membaca Al-Qur’an sebelum belajar, shalat berjamaah, hingga pembinaan adab sehari-hari harus dijaga secara konsisten.
Kesimpulan
Masalah utama dalam pembelajaran Al-Qur’an di institusi pendidikan formal bukan terletak pada niat atau program, tetapi pada manajemen pelaksanaannya. Kurangnya komitmen guru adalah gejala dari sistem yang belum tertata baik: minimnya disiplin, tidak adanya aturan baku, dan lemahnya sistem penghargaan.
Manajemen pendidikan Islam yang baik harus mampu mengintegrasikan nilai spiritual ke dalam sistem kerja yang profesional. Tanpa manajemen yang kuat, nilai-nilai agama akan tetap menjadi formalitas, bukan transformasi.
Dalam jangka panjang, hanya lembaga yang mampu menyinergikan iman dan manajemen sekolah yang kompeten, yang akan menghasilkan generasi Muslim yang unggul: kuat dalam iman, tajam dalam akal, dan tangguh menghadapi zaman. ***