Sekilas Teologi Mazhab Ahlulbait untuk Merajut Ukhuwah

Meski Rasul Allah yang terakhir sudah wafat, tetapi risalah Ilahi berupa ajaran agama Islam tidak berakhir. Agama Islam tetap ada sampai tiba hari Kiamat. Sebagaimana tradisi para Nabi terdahulu, Allah memerintahkan Nabi Muhammad saw untuk mengangkat seorang washi, maula, dan khalifah yang akan melanjutkan penyebaran risalah Ilahi dan mempertahankan agama Islam di muka bumi ini sampai Kiamat.

UKHUWAH

Ahmad Sahidin

7/8/20256 min read

Ini sekadar berbagi pengetahuan yang saya pahami dari bacaan sejumlah buku yang berkaitan dengan ajaran Islam mazhab Ahlulbait (Syiah Imamiyah). Dalam ajaran Islam mazhab Ahlulbait, yang disebut pokok dasar keyakinan (ushuluddin) adalah Tauhid, Nubuwwah, Adl, Imamah, Al-Maad. Dari lima prinsip, ada tiga yang perlu dicermati yakni Tauhid, Nubuwwah, dan Imamah. Sedangkan prinsip Adl dan Al-Maad dapat dikaji lain waktu atau bisa dibaca pada buku-buku yang terkait dengan akidah Syiah.

Perlu diketahui bahwa ushuluddin bermakna akidah atau rukun Iman dalam terminologi Ahlus Sunnah. Sedangkan rukun Islam pada mazhab Ahlubait disebut furuddin. Rincian yang masuk pada furuddin meliputi shalat, puasa, zakat, haji, dan al-wilayah. Aspek yang terakhir ini yang utama dan menjadi identitas dalam mazhab Ahlulbait, yang bermakna kesetiaan dan kecintaan pada sosok pelanjut dan penjaga risalah Ilahi. Mereka ini dikenal sebagai imam-imam Ahlulbait.

Sudah bukan rahasia kalau mazhab Syiah (pengikut Ahlul Bait) di Indonesia disebut sesat dan menyimpang. Pernyataan demikian muncul dari segelintir orang yang menganggap diri beserta kelompoknya paling benar. Sedangkan yang berbeda dengan ajaran mereka, diyakininya sebagai sesat.

Sangat sulit untuk menyampaikan kebenaran kepada mereka yang mengaku paling benar dalam beragama. Meski sudah dijelaskan tetap saja akan didustakan. Ini yang kadang sulit untuk dialog dan berbagi ilmu agama. Jika sudah menolak, tentu akan susah mendapatkan pencerahan. Semoga ke depan, mereka semakin terbuka dan berminat untuk dialog dengan assatidz yang menganut Islam mazhab Ahlulbait (Syiah Imamiyah).

Tauhid dan Nubuwwah

ALLAH Swt selaku pemegang otoritas tertinggi dalam agama Islam memilih utusan-Nya yang terpilih, Nabi Muhammad saw, untuk membawa risalah Islam dan menyebarkannya ke seluruh umat manusia sampai menjelang Kiamat. Orang-orang diperintahkan untuk mengikuti agama yang dibawa Rasulullah saw. Mereka yang memeluk Islam ini kemudian disebut umat Islam.

Selama masih ada Rasulullah saw, mereka tidak kehilangan sumber ajaran agama dan segala masalah yang menyangkut kehidupan segera dimintakan solusinya kepada Rasulullah saw.

Nabi Muhammad saw yang secara basyariyah (fisik) sama dengan manusia biasa dan berbeda dari dimensi kemanusiaan (insaniyah) senantiasa melakukan “dialog” dengan Sang Sumber Kebenaran. Dari-Nya kemudian diberikan jawaban berupa wahyu yang kemudian oleh Rasulullah saw disampaikan kembali kepada umatnya.

Segala ucap, tindakan, dan perilaku Rasulullah saw berasal dari Allah sehingga disebut manusia agung, teladan, dan suci. Karena itu, Nabi diikuti dan dicontoh kemudian dijadikan ajaran dalam beragama oleh umat Islam. Setiap orang Islam dalam beragama harus merujuk kepada Rasulullah saw.

Dikarenakan Nabi Muhammad saw berwujud manusia dan termasuk makluk-Nya sehingga tidak abadi. Sama dengan para Nabi sebelumnya, Nabi Muhammad saw pun wafat. Sudah menjadi sunatullah bahwa setiap Nabi wafat maka ada penggantinya yang melanjutkan risalah Ilahi disebarkan kepada umat manusia.

Setiap Nabi menyebutkan nama dan sosok yang akan menggantikannya. Misalnya Nabi Ibrahim as menyebutkan Nabi Ismail as dan Nabi Ishaq as, kedua putranya, yang menjadi Nabi selanjutnya. Dari Nabi Ishaq as kemudian muncul para Nabi sampai berakhir pada putra Maryam binti Imran, Nabi Isa as. Ia menyebarkan ajaran Ilahi kemudian dipeluk oleh umat manusia yang agamanya disebut Nasrani (Kristen). Ia pun sama, tidak kekal di bumi, Allah kemudian mengangkatnya ke langit sehingga silsilah Nabi berakhir.

Seiring dengan berakhirnya masa penyebaran risalah Ilahi, Nabi Isa as sama seperti para pendahulunya, memberikan informasi berkaitan dengan Nabi akhir zaman yang akan muncul di Arab bernama Muhammad (atau Ahmad) putra Abdullah bin Abdul Muthalib yang garis leluhurnya menyambung sampai kepada Nabi Ibrahim as melalui silsilah Nabi Ismail as. Nabi Muhammad saw inilah yang disebut penutup para Nabi sehingga sampai Kiamat tidak akan ada Utusan Allah. Apabila ada yang mengaku Nabi setelah Sayidina Muhammad bin Abdullah bisa dipastikan berdusta dan palsu.

Meski Rasul Allah yang terakhir sudah wafat, tetapi risalah Ilahi berupa ajaran agama Islam tidak berakhir. Agama Islam tetap ada sampai tiba hari Kiamat. Sebagaimana tradisi para Nabi terdahulu, Allah memerintahkan Nabi Muhammad saw untuk mengangkat seorang washi, maula, dan khalifah yang akan melanjutkan penyebaran risalah Ilahi dan mempertahankan agama Islam di muka bumi ini sampai Kiamat.

Imamah

Rasulullah saw menjelang masa akhir kehidupannya di bumi, sepulang dari haji wada bersama sekira seratus dua puluh ribu orang berhenti di Ghadir Khum. Rasulullah saw menyampaikan pesan-pesan Ilahi agar umat Islam tetap memelihara keimanan kepada Allah, tidak menyekutukan-Nya, menjaga diri dari perbuatan dosa, beramal saleh, dan menyampaikan bahwa Sayidina Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhah merupakan washi, maula, dan khalifah Islam setelah Rasulullah saw.

Kemudian dalam sejumlah riwayat dan hadits (yang mutawatir) disebutkan pula orang-orang yang menjadi pelanjut Sayidina Ali (setelah wafat) berjumlah sebelas orang yang semuanya berasal dari keturunan Rasulullah saw dari garis Sayidah Fathimah Az-Zahra binti Rasulullah saw. Mereka inilah yang kemudian disebut Imam Ahlulbait.

Para Imam Ahlulbait ini dalam hidupnya tidak mulus. Ia diserang dan dibunuh secara kejam oleh orang-orang yang ingin menghilangkan Islam yang bersumberkan dari Rasulullah saw dan Allah. Sebelas Imam Ahlulbait wafat dan yang terakhir, Imam Mahdi Al-Muntazhar, berada dalam keadaan ghaib (menghilang sementara) pada 230 H./875 M., saat Dunia Islam di bawah kekuasaan Dinasti Abbasiyah yang dikenal tidak respon dengan Imam Ahlulbait dan ajaran Rasulullah saw. Imam Ahlulbait yang terakhir ini akan hadir di tengah umat Islam sekira tujuh dan sembilan tahun sebelum terjadinya Kiamat.

Ketika masa ghaib Imam Mahdi ini, hanya empat orang wakilnya yang dirujuk dan diminta pendapat berkaitan dengan ajaran Rasulullah saw dan risalah Ilahi. Setelah empat wakilnya wafat tidak ada lagi orang yang dijadikan sandaran dalam urusan agama Islam.

Otoritas dalam agama Islam didasarkan nash (dalil) berhenti pada mereka. Setelah mereka tidak ada lagi yang dirujuk. Hanya saja berdasarkan wasiat Imam Mahdi bahwa umat Islam yang setia dengan risalah Ilahi (Al-Quran), ajaran Rasulullah saw, dan pengikut Ahlulbait dipersilakan untuk merujuk pada orang berilmu (ulama dari pengikut mazhab Ahlulbait) yang mendalam dalam urusan ilmu agama dan mengetahui masalah lain yang berkaitan dengan zamannya.

Marja Taqlid

Ulama yang mendalam dalam ilmu-ilmu Islam ini disebut marja’ taqlid. Tidak semua ulama bisa menduduki posisi ini. Hanya ulama yang termasuk mujtahid yang keilmuannya telah teruji dan diakui para ulama mazhab Ahlulbait. Mereka inilah yang boleh dirujuk, diminta pendapat, dan dijadikan pembimbing dalam urusan agama Islam.

Singkatnya, untuk menjadi Muslim atau Muslimah yang benar dan sempurna harus merujuk kepada marja’ taqlid dalam urusan yang menyangkut ibadah-ibadah Islam dan kehidupan yang berkaitan dengan fikih.

Seorang marja’ tentunya tidak sembarang dalam memecahkan masalah atau mengeluarkan fatwa. Ia harus menggali dari Al-Quran, khazanah hadits dan riwayat dari para Imam Ahlulbait Rasulullah saw.

Selain dari ulama marja taqlid biasanya tak diterima fatwanya. Memang tak mudah untuk mengetahui atau menentukan seorang ulama itu mujtahid atau belum? Mekanisme apa yang bisa menentukan seseorang layak disebut marja taqlid? Nah, kajian ini sampai sekarang masih terus berkembang. Tidak jarang dalam mazhab Ahlulbait ini terjadi perbedaan pemahaman di antara sesama pengikutnya. Bahkan, saling menyangkal keulaman yang diikuti orang lain yang tidak satu marja.

Persoalan marja, fikih, dan pemahaman agama Islam tidak pernah selesai. Setiap masa dari generasi ke generasi terjadi perkembangan pemahaman. Termasuk di Indonesia, terjadi perbedaan di antara sesama pengikut Ahulbait. Ada yang menyatakan harus merujuk marja taqlid di luar Indonesia. Juga ada yang menyatakan boleh tidak merujuk marja taqlid dan cukup membaca kumpulan risalah fatwa dari ulama-ulama yang ahli dalam fiqih. Boleh merujuk ulama marja yang sudah wafat. Ada juga yang menyatakan harus kepada ulama marja yang masih hidup. Bahkan, ada pengikut Ahlulbait yang cukup mengikuti pimpinan organisasi tertinggi di Indonesia. Inilah dinamika mazhab Ahlulbait di Indonesia.

Ukhuwah

Sebagai umat Islam perlu memahami ajaran dan prinsip dalam agama Islam, termasuk pada mazhab yang ada di dalamnya. Mazhab adalah pemahaman beragama yang berdasarkan pada sumber agama Islam. Allah dan Rasulullah SAW merupakan sumber ajaran Islam. Dari keduanya lahir interpretasi atau pemahaman, baik dari sahabat Nabi maupun para ulama. Menariknya pemahaman agama Islam itu tidak tunggal tetapi beragam. Tidak hanya melahirkan dua mazhab, tetapi sepanjang sejarah diketahui tidak hanya Sunni dan Syiah. Banyak ragam mazhab yang dianut umat Islam, termasuk organisasi keagamaan Islam di masyarakat pun beragam dan berbeda satu sama lain.

Saya percaya umat Islam Indonesia, baik Ahlussunnah maupun Ahlulbait, memahami kondisi masyarakat Indonesia. Dalam menjalankan ibadah dan tradisi keagamaan yang bersifat nasional atau acara-acara Islam ditempat umum selayaknya memperhatikan pluralitas bangsa. Tidak boleh memaksakan acara-acara keagamaan Islam (dan agama lainnya juga) yang bakal membuat kondisi masyarakat menjadi terganggu. Apalagi di dalamnya ada upaya-upaya provokasi yang akan menimbulkan konflik. Pasti ajaran dan amalan keagamaan tersebut perlu dipertanyakan kebenarannya.

Dari seluruh agama dan aliran keyakinan di Indonesia tentu ada kebenaran umum yang diakui bersama. Salah satunya moral dan kerja sosial yang dalam ajaran agama Islam disebut dengan akhlak dan muamalah. Misalnya aktivitas berbagi makanan, menolong orang yang miskin, silaturahim, membantu biaya sekolah, dan kegiatan sosial kemanusiaan. Pasti dari seluruh agama diakui sebagai kegiatan yang baik dan memiliki nilai dalam agama.

Seluruh mazhab dalam Islam, baik Ahlusunnah maupun Ahlulbait, mengakui bahwa Rasulullah saw turun ke bumi untuk menyempurnakan akhlak. Dengan akhlak, seseorang dinilai dan dilihat. Dengan akhlak, orang yang beragama akan dipandang baik dan benar dalam beragama. Dengan akhlak pula Nabi Muhammad saw menyontohkan perilakunya sehingga seluruh manusia mengakui keteguhan dan keagungan ajaran yang dibawanya. Karena itu, akhlak merupakan dasar untuk merajut persaudaraan dan menjalankan hidup bersama di negeri Indonesia. ***