Tasawuf Cinta Kang Jalal
Kang Jalal bukan saja fasih berbicara konsep-konsep tasawuf yang rumit dengan bahasa yang mudah difahami, namun juga mengolah tema-tema sosial dan sejarah keseharian dari sudut pandang sufisme, bahkan aktif menginisasi kajian tasawuf di masyarakat perkotaaan, urban sufism.
KHAZANAH
Dr Asep Salahudin (Cendekiawan Muslim Sunda)
8/9/20257 min read
Renungan-Renungan Sufistik, Madrasah Ruhaniah, The Road to Muhammad, The Road to Allah, Membuka Tirai Kegaiban, Doa dan Kebahagiaan, Reformasi Sufistik, Tafsir Sufi al-Fatihah adalah sebagian buku yang ditulis guru kita allahu yarham al-alim al-allamah K.H. Dr. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc., yang sangat erat bertautan dengan tasawuf. Bahkan menurut saya sejak awal, melalui Islam Altertatif (1986), tendensi sufisme sudah sangat nampak seperti pada judul, “Sufisme dan Kemiskinan: Perspektif Baru”. Pada buku yang sama bab terakhir Kang Jalal menampilkan wawasan tasawuf dari perspektif Syiah yang pada saat itu sangat jarang yang mengulasnya, ”Tasawuf dalam Perspektif Syiah”. Tulisan tersebut semula sebagai makalah yang disampaikan pada seminar dosen IAIN Sunan Gunung Djati tahun 1983.
“Karena hubungan erat antara syiah dan tasawuf, di kalangan syiah sendiri banyak yang tidak membedakan di antara keduanya. Haidar Amuli dalam bukunya Jami al-Asrar menunjukkan bahwa tasawuf yang sebenarnya dan syiah adalah sama.”
Kang Jalal juga mengutip pernyataan Hossen Nasr, “Teologi dan akidah syiah mengandung perumusan-perumusan yang tepatnya bisa dikatakan lebih bersifat mistis ketimbang bersifat teologis”.
Ajaran tasawuf yang dimaknai (dihayati) Kang Jalal, di samping ditimba dari tradisi Ahlulbait dan mataair kenabian juga diolah dari tasawufnya Ibnu Arabi. Jejak wihdatul wujud atau turunnaya wihdatul adyan menjadi nampak terasa seperti dalam gagasan pluralisme dan keselamatan inklusif dalam Madrasah Ruhaniah: Berguru Pada Ilahi di Bulan Suci atau Islam dan Pluralisme: Akhlak Quran Menyikapi Perbedaan. Keselamatan menjadi terbuka dan bukan hanya monopoli umat Islam saja.
Kang Jalal juga amat tertarik pada gagasan yang bagi saya tidak mudah dipahami yakni isyraqiyah Suhrawardi dan hikmah mutaaliyah Mulla Shadra. Semacam teosofi transenden yang mensyaratkan verivikasi logis-analitis terhadap pengalaman mistis. Suhrawardi menjelaskan bahwa hikmah al-isyraq itu hanya bisa digapai dengan adanya upaya menggabungkan antara kecerdasan logika dan kedalaman intuisi, antara filsafat diskursif dan filsafat eksperensial. Pengetahuan paripatetik sebagai syarat mutlak memahami hikmah al-isyraq.
Kaitannya dengan hikmah muta’aliyah, Mulla Shadra seperti dijelaskan Kang Jalal dalam Jurnal Hikmah edisi 10 “Hikmah Muta’aliyah Filsafat Islam Pasca Ibn Rusydi” (1993) mendasarkannya pada tiga prinsip: 1) intuisi-intelektual; 2) pembuktian rasional dan; 3) syariat, sehingga nampak jelas bahwa hikmah itu diperoleh lewat pencerahan ruhani, diabstraksikan melalui argumen yang rasional dan diaplikasikan dengan setia menjalani syariat. Sementara dari sisi ontologis, Shadra menancapkan dalam tiga hal: 1) prinsip wujud; 2) gradasi wujud dan 3) gerak substansial.
Lebih detail Kang Jalal melacak tiga pemikiran yang memiliki pengaruh besar terhadap bangunan pemikiran Shadra: Pertama, pemikiran Ibn Sina (980-1037) terutama yang bertalian dengan realitas wujud dan kelemahan esensi; kedua, pemikiran iluminasi Suhrawardi (1153-1191 M) dalam hal yang berhubungan dengan ‘jenjang cahaya’ yang telah mengilhaminya untuk mengembangkan gagasan tasykik al-wujud (gradation of being) dan ketiga, pemikiran Ibn Arabi (1165-1240 M). Dari Ibn Arabi, Mulla Shadra mengangkat soal isu penting filsafat Islam, non wujudnya esensi, realitas sifat-sifat Tuhan, dan peran eskatologis-psikologis alam citra. Tentu saja pengaruh itu tidak berarti Mulla Shadra setuju terhadap semua pemikiran mereka. Untuk Ibn Sina, misalnya, seperti ditunjukkan Fazlur Rahman, dengan keras mengkritik aspek epistemologisnya yakni ketika Ibn Sina menolak kesatuan absolut antara subjek dan objek yang diketahui.
Tentu saja tasawuf yang dikembangkan Kang Jalal bukan hanya tasawuf falsafi, namun pada saat bersamaan Kang Jalal mungkin bahkan sejak awal adalah pengagum tokoh tokoh arsitek revolusi Iran semisal Ali Syariati dan Murtadha Muthahhari. Menurut saya “Rekayasa Sosial” (1999) adalah buku terbaik yang menjelaskan tentang cara, arah dan peta jalan tentang perubahan sosial. Diterbitkan pada saat yang tepat ketika Indonesia sedang mencari bentuk untuk menata negara dan politik kewargaannya. Setelah selama 35 tahun disandera rezim despotik. “Perubahan sosial yang bergerak melalui rekayasa sosial harus dimulai dengan perubahan cara berpikir.”
Kang Jalal bukan saja fasih berbicara konsep-konsep tasawuf yang rumit dengan bahasa yang mudah difahami, namun juga mengolah tema-tema sosial dan sejarah keseharian dari sudut pandang sufisme, bahkan aktif menginisasi kajian tasawuf di masyarakat perkotaaan, urban sufism. Yang falsafi dan akhlaqi ditarik dalam satu helaan nafas. Bahkan sempat menulis Tafsir al-Fatihah dalam pandangan tasawuf lengkap dengan metodologinya.
Keluasaan pengetahuan, kekuatan logika, ketajaman argumentasi, kelenturan bercerita, keterbukaan wawasan, kesabaran melayani lawan berdebat, menjadi daya tarik tersendiri buku-buku tasawuf yang ditulisnya. Hikayat masa lalu tidak dibiarkan tampil begitu saja tapi ditafsirkan ulang dan dikontekstualisasikan dengan peristiwa aktual, dengan kejadian yang tengah berlangsung. Bahkan sesekali dibumbui humor-humor cerdas secara terukur.
Kekuatan imajinasi yang terpadu dengan pemahaman dan pengalaman keagamaan yang kokoh menjadikan Kang Jalal menjadi seorang cendekiawan Muslim yang unik, terkemuka dan amat diperhitungkan.
Tasawuf jalan dialog
Sesuai obsesi keagamaan Kang Jalal ihwal pentingnya dialog dan mencari titik temu mazhab dan agama, nampaknya tasawuf menjadi jembatan yang paling memungkinkan untuk pertemuan itu. Lewat tasawuf bukan hanya dialog sosial yang dimungkinkan namun juga dialog lintas iman.
Saya menafsirkan aktivisme dan sufisme Kang Jalal salah satunya diacukan pada semacam seruan bahwa dialog bukan melulu adu argumentasi, tapi upaya terus menerus terlibat intim dalam kehidupan. Dialog yang melampaui kebudayaan. Dialog yang dilakukan dengan sikap bersama-sama mencari makna dan menggali nilai universial dari setiap budaya dan agama. Dalam istilah Hans Kung, dialog yang berangkat dari ko-eksistensi ke arah pro-eksistensi.
Semacam dialog yang digerakkan sebagai pintu masuk agar setiap kita menjadi “ada”. Kehadiran orang lain adalah alasan utama kita tiba pada pengalaman eksistensial. Dialog tidak berhenti sebatas tumbuhnya toleransi, menggali kesamaan tradisi, tapi trayeknya ditujukan untuk menjawab persoalan masa depan yang semakin tidak mudah diramalkan.
Dialog yang berangkat dari upaya meletakkan kebenaran tidak pada kekuatan teks itu sendiri, tapi sejauhmana teks ini membawa perubahan ke arah hidup berkeadaban. Dialog yang meniscayakan faham keagamaan yang tak henti diperbarui. Dialog yang membayangkan teologia semper reformanda (teologi yang tak henti diperbarui).
Dialog seperti itu mensyaratkan keikhlasan setiap kita untuk menanggalkan watak truth claim (mengklaim kebenaran) sekaligus membuka rongga kesempatan keselamatan sebagai milik bersama. Banyak pintu menuju k(K)ebenaran.
Di titik ini menjadi penting mencari konsensus dari setiap teologi dengan mendudukan problem kemanusiaan sebagai titik picunya dan etika global yang dirumuskan bersama sebagai payungnya.
Kalau saya kembali pada kebudayaan Sunda, minimal melalui refleksi mistik Hasan Mustapa, kita tiba pada sebuah pemahaman bahwa perjumpaan agama-agama itu bisa menghadirkan keadaban ketika para pemeluk agama terus berupaya meghidupkan spirit “neangan Gusti.”
Neangan Gusti sebagai ziarah diri menemukan jatinya, memasuki alam “kaaingan” demi tergelarnya adab pada “alaming kamanusaan”. “Sirna rasa rasaning pasti/sirna rasa rasaning rasa/janggelek rasaning dewek/duk lungsur ti satuhu/bilih lingsir asih jeung sedih/alaming kamanusaan/pangjurung kasarung/ngumbara di alam dunya/ngulik harti guruling neangan Gusti/ku pantang pamalina”.
Beragama dengan iman yang bukan “ngan kari catur/iman ngan kari basa/lapur katalajur/patekadan ngan babasan”. Perjumpaan lintas agama mengharuskan iman yang punya kesanggupan nganteur tineung jeung hayang.
Madrasah cinta
“Cinta” inilah barangkali simpul tasawuf yang dikembangkan Kang Jalal. Tema lama (mahabbah) yang di tangan Kang Jalal menjadi amat memikat. Bukan hanya karena kefasihannya dalam mempercakapkannya namun juga diekspresikan dari keterlibatannya secara laten di tengah masyarakat. Bahkan kesediaannya menjadi politikus dengan motif utama melakukan pendampingan total terhadap hak-hak masyarakat yang dipinggirkan.
Barangkali tasawuf cinta ini yang menjadi alasan Kang Jalal tidak betah pada satu “kedudukan” apalagi terus menerus berada pada “zona nyaman”. Beliau terus bergerak menjelajah keagamaan dan keilmuan dengan segala keyakinan dan kontroversi di belakangnya. Termasuk keberaniannya mendeklarasikan Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia (IJABI) dan melempar wacana isu-isu keagamaan yang sensitif. Namun semuanya dilayaninya dengan argumentasi yang kokoh, ketabahan yang tak tepermanai, pendewasaan berpikir dan kecintaannya pada ukhuwwah. Pada menjelang akhir hayatnya, Kang Jalal banyak menyampaikan gagasan “islam madani” sebagai antitesa “islam fiqhi” dan “islam siyasi” di tengah kecenderungan kebangkitan kaum puritan, islamisme atau populisme.
Saya menjadi teringat ketika Ibn Arabi ditanya ihwal agama yang dianutnya, ia menjawab, “Cinta adalah agamaku; kemanapun binatang penunggangnya menuju, di sanalah agama ditambatkan.”
Tatkala al-Fadhil ibn Yasar bertanya kepada Imam Ja’far ash-Shadiq as. tentang dari mana iman itu berasal? Beliau tegas menjawab, “Keimanan itu tak lain adalah cinta.” Dalam ungkapan Imam Baqir as, “Agama adalah cinta dan cinta ialah agama.”
Diriwayatkan bahwa Allah Swt berfirman kepada Musa bin Imran as., “Apakah kamu berbuat suatu amalan untuk-Ku?” Musa menjawab, “Saya salat, puasa, sedekah, dan dzikir semata untuk-Mu.” Lalu Allah berfirman, “Salat adalah burhan bagimu, puasa adalah tamengmu, sedekah adalah naunganmu dan dzikir adalah cahaya bagimu, maka apa yang kamu lakukan untuk-Ku?” Musa bertanya, “Tunjukkan padaku amalan untuk-Mu?” Allah menjawab, “Apakah kamu mencintai seseorang karena-Ku dan memusuhi seseorang juga karena-Ku?” Maka Musa pun faham bahwa sebaik-baik amal adalah cinta dan atau benci karena Allah.
Imam Ja’far ash-Shadiq, seperti dikutip Syaikh Muhammad Mahdi al-Ashifi (1994) mengatakan, “Rahasia kesuksesan para pencapai marifat bertumpu pada tiga asas: takut, harapan dan cinta. Takut adalah cabang dari ilmu. Harapan merupakan cabang dari keyakinan. Dan cinta ialah bagian dari ma’rifat. Bukti adanya ketakutan ialah pelarian. Bukti adanya harapan ialah lahirnya permintaan. Dan bukti adanya cinta adalah pengutamaan sang kekasih atas yang lain. Jika telah nyata ilmu di dalam dadanya timbullah rasa takut. Dan bila ternyata apa yang ditakutinya itu benar ia pun lari. Dengan pelariannya ini dia selamat. Bila cahaya keyakinan telah bersinar di kalbunya, maka ia menyaksikan suatu karunia. Jika telah teguh keyakinannya dalam memandang karunia, maka timbullah harapan. Di kala manisnya harapan itu telah diraihnya lahirlah permohonan. Jika permohonannya dikabulkan ia pun mendapatkannya. Kalau sinar ma’rifat telah terpancar di hatinya, maka berhembuslah angin surga. Jika angin cinta berhembus ia mulai menikmati lindungan sang kekasihnya. Ia pun mengutamakan kekasihnya atas yang lain dan segera melaksanakan perintah-perintahnya. Perumpamaan tiga asas ini seperti al-Haram, masjid dan Kabah. Barangsiapa memasuki al-Haram amanlah ia dari gangguan makhluk-Nya. Dan barangsiapa memasuki masjid terlindunglah anggota tubuhnya dari penggunaan untuk kemaksiatan. Dan barangsiapa memasuki Kabah selamatlah hatinya dari hal yang menyibukkannya selain mengingat-Nya.”
Kata Imam al-Ghazali, dengan cinta seseorang dapat menggapai keagungan ma’rifat. Dalam kata-kata Dzun Nun, cinta selalu bermula dari harapan (raja’) kemudian menjadi gumpalan cinta (mahabbah) selanjutnya mengental menjadi rindu (syauq) dan akhirnya tertambat dalam rasa nyaman, damai dan hening (uns).
Kata Ibn al-Qayyim, pakar cinta dari Timur, Cinta merupakan saripati ‘ubudiyah (pengabdian). Gurunya, Ibn Taimiyyah dalam al-‘Ubudiyah menulis bahwa ibadah itu semestinya melibatkan sikap luruh dalam cinta (al-qalb al-tatayyum) setelah sebelumnya tercipta keterpautan dengan Sang Kekasih (al-‘alaqah), kemudian as-sababah (emosi menggelora), al-gharam (karam dalam perasaan rindu), terus menjadi ‘isyq (cinta yang terpatri).
Kalau Rene Descartes dahulu mengumumkan bahwa segala sesuatu harus disangsikan, bagi Hamlet ada pengecualian yaitu cinta saperti dalam seruannya kepada Ophelia dalam dramanya William Shakespeare seperti dikutip Jujun S. Suriasumantri (2003):
Ragukan bahwa bintang-bintang itu api
Ragukan bahwa matahari itu bergerak
Ragukan bahwa kebenaran itu dusta
Tapi jangan ragukan cintaku
Kalau kita membuka al-Quran dengan sangat mudah ditemukan banyak ayat yang menegaskan bahwa identitas seorang Muslim adalah kesediaannya menumbuhkan cinta hanya kepada Tuhan. “Orang-orang yang beriman itu sungguh kuat cinta mereka kepada Allah” (QS. al-Baqarah/2: 165).
Jalan cinta, menurut saya, itulah tasawuf Allahyarham K.H. Dr. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc. Cinta kepada Tuhan yang dipantulkan jejaknya dalam kecintaan utuh kepada sesama, dalam aksi-aksinya membela kaum lemah. Tarekat cinta yang menyalurkan rahmat, keadilan, kemajuan, pengetahuan, kebersamaan, dan sikap lapang. Mendahulukan cinta ketimbang “agama”, dahulukan akhlak di atas fikih.
Semoga Kang Jalal dan Ibu bahagia di alam baqa. Caang padang narawangan di alam kalaggeungan. Dihimpunkan bersama Ahlulbait Kanjeng Nabi Muhammad Saw yang selalu dibelanya dengan penuh cinta dan gelora. Alfatihah. ***
Kamis, 10 Februari 2022
Makalah ini disampaikan Dr Asep Salahudin dalam “Bincang Tasawuf Perspektif Allahyarham KH Dr Jalaluddin Rakhmat MSc” disiarkan melalui Channel YouTube Misykat TV.